Beranda | Artikel
Ikhlas : Syarat Diterimanya Ibadah
Selasa, 19 April 2022

IKHLAS SYARAT DITERIMANYA IBADAH

Daftar Isi :
Muqaddimah

  1. Syarat Suatu Amal Diterima Oleh Allah
  2. Perintah Untuk Ikhlas dan Peringatan Agar Menjauhi Riya’ dan Syirik
  3. Peringatan agar Menjauhi Syaitan dan Segala Macam Tipu Dayanya
  4. Bertawassul dengan Keikhlasan kepada Allah di Dalam Amal Perbuatan
  5. Nabi Yusuf  Selamat dengan Sebab Keikhlasannya
  6. Seorang Pemuda yang Beriman
  7. Kisah Nabi Ibrahim dan Isterinya di Baitullah
  8. Termasuk Keikhlasan adalah Melaksanakan Amal Shalih Disertai Rasa Takut Akan Adzab pada Hari Akhir
  9. Dikabulkannya Do’a Orang yang Dizhalimi dan Dalam Kesulitan Serta Makna Mengosongkan Hati Untuk Allah?
  10. Bergaul dengan Orang-Orang yang Ikhlas dan Mengambil Manfaat dari Keikhlasan Mereka
  11. Macam-Macam Riya’
  12. Yang Dianggap Sebagai Perbuatan Riya’ dan Syirik Padahal Bukanlah Demikian
  13. Keutamaan Ikhlas Dalam Beramal
  14. Mengobati Penyakit Riya’ dan Berlepas Diri darinya
  15. Hal-Hal yang Dapat Mengusir Syaitan
  16. Buah yang Dihasilkan dari Sikap Ikhlas Kepada Allah
  17. Akibat Buruk yang Disebabkan Oleh Riya’
  18. Yang Dianggap Sebagai Perbuatan Ikhlas Akan Tetapi Tidaklah Demikian
  19. Hadits di Dalam Kitab at-Targhiib wat Tarhiib yang Membahas Ikhlas dan Perhatian Atas Sikap Riya’
  20. Kata-Kata Mutiara Tentang Keikhlasan
  21. Kata-Kata Mutiara Para Salaf dan Orang Shalih Tentang Niat, Ikhlas dan Peringatan Sikap Riya’
  22. Buku-Buku yang Disarankan untuk Dibaca

MUQADDIMAH
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Sesungguhnya segala puji hanya milik Allah, hanya kepada-Nya kita memuji, meminta pertolongan, dan memohon ampunan.

Dan kita juga berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita sendiri dan keburukan amal perbuatan kita. Barangsiapa yang diberikan petunjuk oleh Allah, niscaya tidak akan ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan oleh-Nya, niscaya tidak akan ada yang dapat memberikan petunjuk kepadanya.

Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya. Amma ba’du:

Sesungguhnya seluruh manusia di muka bumi pada saat ini, dengan agama dan keyakinannya yang berbeda-beda, dan dengan keinginan hawa nafsu yang bermacam-macam, mereka semua melakukan berbagai perbuatan juga berbagai aktifitas dengan dari sebagian mereka bahwa semua itu dapat mewujudkan kebahagiaan mereka, di antara mereka ada yang meleset dari harapannya -sungguh sangat banyak mereka ini- dan di antara mereka ada yang menda-patkannya -sungguh sangat sedikit mereka ini- tetapi semuanya tetap saja berakhir dengan kesengsaraan yang berkepanjangan, ini bagian yang mereka dapatkan di dunia apalagi yang akan mereka dapatkan di akhirat, karena itu mereka berhak untuk mendapat-kan ungkapan bela sungkawa, kesedihan dan tangisan.

Bagaimana bisa terjadi kesesatan padahal jalan menuju kebenaran sangatlah jelas, bagaimana juga bisa terjadi penyelewengan padahal jalan menuju Allah sudah lurus, maka sungguh tidak akan terwujud ketenangan dan kebahagiaan di dalam hati kecuali dengan keikhlasan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sangatlah pantas bagi orang yang gigih guna mencapai keba-hagiaan dunia tanpa disertai keikhlasan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ungkapan sya’ir berikut ini:

إِذَا لَـمْ يَكُنْ مِنَ اللهِ عَوْنُ الْفَتَى
فَـأَوَّلُ مَا يَجْنِى عَلَيْهِ اِجْتِـهَادُهُ

Jika tidak ada pertolongan dari Allah kepada seseorang, maka kesungguhan,
seseorang merupakan perbuatan jahat yang pertama terhadap dirinya.

Seseorang akan mendapatkan kesengsaraan dan tersiksa perasaannya sebanyak tenaga yang telah dicurahkan oleh akalnya dalam mewujudkan kebahagiaan tanpa disertai dengan keikhlasan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Apakah seseorang tidak sadar bahwa keikhlasan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menyelamatkan raga dan jiwa dari setiap kesengsaraan? Ini bukanlah sebuah perkataan yang diungkapkan tanpa makna, akan tetapi ia adalah sebuah pengalaman yang pernah diarungi oleh manusia yang paling utama dan mulia, yaitu pengalaman yang pernah dialami oleh para Nabi dan Rasul, dan juga pengalaman yang pernah dialami oleh para Sahabat dan Tabi’in, akhirnya mereka berhasil mendapatkan kebahagiaan dan selamat di dalam kehidupan dunia, sedangkan di akhirat mereka mendapatkan kehidupan yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga dan yang belum pernah terlintas dalam hati manusia.

Dengan demikian menurut hemat saya, sangat penting menerbitkan buku ini dalam rangka menjelaskan keutamaan ikhlas dan berbagai fenomena yang ada di dalamnya, juga dalam rangka menjelaskan tentang bahaya riya’ (sikap ingin dilihat orang lain dalam beribadah) dengan berbagai cara pengobatannya, dan hal-hal bermanfaat lainnya.

Di dalam buku ini -sebagaimana di dalam buku-buku yang lainnya- saya tidak menuturkan satu hadits kecuali yang shahih saja, dengan merujuk kepada takhrij dan tahqiq para ahli hadits[1] untuk mewujudkan tujuan dari penulisan saya ini.

Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada guru saya yang mulia, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, yang telah menyuguhkan hadits-hadits yang berhubungan dengan tema ini, takhrij dan tahqiq beliau dalam at-Targhiib wat Tarhiib karya al-Mundziri, di mana kitab beliau yang sangat berharga, yaitu Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib merupakan sebuah hasil jerih payah beliau yang agung -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan manfaat (pahala) baginya sampai hari Kiamat, dan kitab ini sedang dalam proses penerbitan, insya Allah.-

Dan juga saya ucapkan banyak terima kasih kepada semua kawan-kawan yang telah ikut serta di dalam menerbitkan buku ini, dengan semua jerih payahnya yang sangat mulia, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas mereka dengan kebaikan.

Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kami berharap semoga menjadikan semua amal kita tulus ikhlas karena-Nya, dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mewujudkan kemanfaatan kitab ini bagi saya pada hari Kiamat dan menjadikannya sebagai wasilah untuk menjaga saya pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.

[Disalin dari buku “IKHLAS: Syarat Diterimanya Ibadah” terjemahkan dari Kitaabul Ikhlaash oleh Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah. Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit PUSTAKA IBNU KATSIR Bogor]
______
Footnote
[1] Terkadang al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan satu hadits, begitu pula para ahli hadits yang lainnya, tetapi saya merasa cukup dengan hadits yang termaktub di dalam ash-Shahiih, ini terjadi pada cetakan yang pertama, lalu setelah itu saya merincinya, dan ternyata hal tersebut membutuhkan jerih payah yang melebihi dari waktu yang tersedia, hasilnya saya menetapkannya dengan formula awal, apalagi dengan kenyataan bahwa cara ini telah saya lakukan pada kesempatan sebelumnya, agar saya dapat lebih memanfaat-kan waktu untuk melakukan kegiatan ilmiah lainnya.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/54787-ikhlas-syarat-diterimanya-ibadah.html